Sistem Informasi Perbankan
Dosen : Farida,
S.Kom., M.M.SI.
Dwi Chandra Kurniawan (13114282)
4KA21
Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi
Sistem Informasi
2018
Sejarah Bank Indonesia
Kalau selama ini kita mengenal Bank Indonesia, atau
yang lebih familiar dengan istilah BI, hanya melalui berita, surat kabar,
ataupun sebatas dari pendengaran sepintas, maka dalam artikel ini kami akan
mencoba menyajikan informasi tentang BI baik itu dari segi fungsi, tugas,
status kedudukan, serta visi misi. Diharapkan dengan mengetahuinya kita lebih
akrab dengan lembaga independen di Indonesia ini yang fungsi pokoknya adalah sebagai
pemelihara nilai rupiah agar tetap stabil.
Sebenarnya jika kita ingin mengenal lebih jauh
tentang Bank Indonesia, kita bisa berkunjung ke Museum BI yang beralamat
tepatnya di Jalan Pintu Besar Utara No. 3 Jakarta Barat. Pemilihan lokasi ini
sangat strategis karena gedung ini dulunya merupakan lokasi De Javasche Bank
yang menjadi cikal bakal dari Bank Indonesia itu sendiri. Lokasi tersebut
adalah bangunan yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah dan
sekarang dimanfaatkan sebagai Museum Bank Indonesia. Museum Bank Indonesia
memiliki fasilitas-fasilitas yang diberikan untuk menggali informasi lebih
lengkap tentang sejarah, fungsi, maupun tugas Bank Indonesia. Ini sangat
bermanfaat bagi siapa saja yang ingin memperluas cakrawala mereka ataupun siapa
saja yang ingin melakukan penelitian terkait dengan sejarah Bank Indonesia.
Bank Indonesia (BI) adalah bank sentral Republik
Indonesia. Bank ini memiliki nama lain De Javasche Bank yang dipergunakan pada
masa Hindia Belanda. Sebagai bank sentral, BI mempunyai satu tujuan tunggal,
yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah
ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan
jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain.
Untuk mencapai tujuan tersebut BI didukung oleh tiga
pilar yang merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas ini adalah
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran
sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia.
Ketiganya perlu diintegrasi agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan
nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien. Setelah tugas mengatur
dan mengawasi perbankan dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan, tugas BI dalam
mengatur dan mengawasi perbankan tetap berlaku, namun difokuskan pada aspek
makroprudensial sistem perbankan secara makro.
BI juga menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki
hak untuk mengedarkan uang di Indonesia. Dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya BI dipimpin oleh Dewan Gubernur. Sejak 2013, Agus Martowardojo
menjabat sebagai Gubernur BI menggantikan Darmin Nasution.
Saat kembali menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1950, struktur ekonomi Indonesia masih
didominasi oleh struktur kolonial. Bank-bank asing masih merajai kegiatan
perbankan nasional, sementara peranan bank-bank nasional dalam negeri masih
terlampau kecil. Hingga masa menjelang lahirnya Bank Indonesia pada tahun 1953,
pengawasan dan pembinaan bank-bank belum terselenggara. De Javasche Bank adalah
bank asing pertama yang dinasionalisasi dan kemudian menjelma menjadi BI
sebagai bank sentral Indonesia. Beberapa tahun kemudian, seiring dengan
memanasnya hubungan RI-Belanda, dilakukan nasionalisasi atas bank-bank milik
Belanda. Berikutnya, sistem ekonomi terpimpin telah membawa bank-bank
pemerintah kepada sistem bank tunggal yang tidak bertahan lama. Orde baru
datang membawa perubahan dalam bidang perbankan dengan dikeluarkannya
Undang-Undang No. 14/1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan. Mulai saat itu, sistem
perbankan berada dalam kesatuan sistem dan kesatuan pimpinan, yaitu melalui
pengawasan dan pembinaan Bank Indonesia. Bank Indonesia dengan dukungan
pemerintah, dalam kurun waktu 1971-1972 melaksanakan kebijakan penertiban bank
swasta nasional dengan sasaran mengurangi jumlah bank swasta nasional, karena
jumlahnya terlalu banyak dan sebagian besar terdiri atas bank-bank kecil yang
sangat lemah dalam permodalan dan manajemen. Selain itu, Bank Indonesia juga
menyediakan dana yang cukup besar melalui Kredit Likuiditas Bank Indonesia
(KLBI) untuk program-program Kredit Investasi Kecil (KIK)/Kredit Modal Kerja
Permanen (KMKP), Kredit Investasi (KI), Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI),
Kredit Koperasi (Kakop), Kredit Profesi Guru (KPG), dan sebagainya. Dengan
langkah ini, BI telah mengambil posisi sebagai penyedia dana terbesar dalam
pembangunan ekonomi di luar dana APBN.
Industri perbankan Indonesia telah menjadi industri
yang hampir seluruh aspek kegiatannya diatur oleh pemerintah dan BI. Regulasi
tersebut menyebabkan kurangnya inisiatif perbankan. Tahun 1983 merupakan titik
awal BI memberikan kebebasan kepada bank-bank untuk menetapkan suku bunga, baik
kredit maupun tabungan dan deposito. Tujuannya adalah untuk membangun sistem
perbankan yang sehat, efisien, dan tangguh. Kebijakan selanjutnya merupakan
titik balik dari kebijakan pemerintah dalam penertiban perbankan tahun
1971-1972 dengan dikeluarkannya Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988
(Pakto 88), yaitu kemudahan pemberian ijin usaha bank baru, ijin pembukaan
kantor cabang, dan pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Pada periode selanjutnya, perbankan nasional mulai
menghadapi masalah meningkatnya kredit macet. Hal ini sejalan dengan
meningkatnya pemberian kredit oleh perbankan terutama untuk sektor properti.
Keadaan ekonomi mulai memanas dan tingkat inflasi mulai bergerak naik.
Ketika krisis moneter 1997 melanda, struktur
perbankan Indonesia porak poranda. Pada tanggal 1 November 1997, dikeluarkan
kebijakan pemerintah yang melikuidasi 16 bank swasta. Hal ini mengakibatkan
kepanikan di masyarakat. Oleh karena itu, Bank Indonesia turun mengatasi
keadaan dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atas dasar kebijakan
yang ditetapkan pemerintah. Selain itu, berbagai tindakan restrukturisasi
dijalankan oleh Bank Indonesia bersama pemerintah.
Sistem pembayaran di Indonesia terbagi menjadi dua,
yaitu sistem pembayaran tunai dan non tunai. Dalam Undang-Undang (UU) No.
11/1953 ditetapkan bahwa Bank Indonesia (BI) hanya mengeluarkan uang kertas
dengan nilai lima rupiah ke atas, sedangkan pemerintah berwenang mengeluarkan
uang kertas dan uang logam dalam pecahan di bawah lima rupiah. Uang kertas
pertama yang dikeluarkan oleh BI adalah uang kertas bertanda tahun 1952 dalam
tujuh pecahan. Selanjutnya, berdasarkan UU No. 13/1968, BI mempunyai hak
tunggal untuk mengeluarkan uang kertas dan uang logam sebagai alat pembayaran
yang sah dalam semua pecahan. Sejak saat itu, pemerintah tidak lagi menerbitkan
uang kertas dan uang logam. Uang logam pertama yang dikeluarkan oleh BI adalah
emisi tahun 1970. Pada era 1990-an, BI mengeluarkan uang dalam pecahan besar,
yaitu Rp 20.000 (1992), Rp 50.000 (1993), dan Rp 100.000 (1999). Hal itu
dilakukan guna memenuhi kebutuhan uang pecahan besar seiring dengan
perkembangan ekonomi yang tengah berlangsung saat itu.
Sementara itu, dalam bidang pembayaran non tunai, BI
telah memulai langkahnya dengan menetapkan diri sebagai kantor perhitungan
sentral menjelang akhir tahun 1954. Sebagai bank sentral, sejak awal BI telah
berupaya keras dalam pengawasan dan penyehatan sistem pembayaran giral. BI juga
terus berusaha untuk menyempurnakan berbagai sistem pembayaran giral dalam
negeri dan luar negeri. Pada periode 1980 sampai dengan 1990-an, pertumbuhan
ekonomi semakin membaik dan volume transaksi pembayaran non tunai juga semakin
meningkat. Oleh karena itu, BI mulai menggunakan sistem yang lebih efektif dan
canggih dalam penyelesaian transaksi pembayaran non tunai. Berbagai sistem
seperti Semi Otomasi Kliring Lokal (SOKL) dengan basis personal computer dan
Sistem Transfer Dana Antar Kantor Terotomasi dan Terintegrasi (SAKTI) dengan
sistem paperless transaction terus dikembangkan dan disempurnakan. Akhirnya, BI
berhasil menciptakan berbagai perangkat sistem elektronik seperti BI-LINE,
Sistem Kliring Elektronik Jakarta (SKEJ), Real Time Gross Settlement (RTGS),
Sistem Informasi Kliring Jarak Jauh (SIKJJ), kliring warkat antar wilayah kerja
(intercity clearing), dan Scriptless Securities Settlement System (S4) yang semakin
mempermudah pelaksanaan pembayaran non tunai di Indonesia.
Sejarah kelembagaan Bank Indonesia dimulai sejak
berlakunya Undang-Undang (UU) No. 11/1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok
Bank Indonesia pada tanggal 1 Juli 1953. Dalam melakukan tugasnya sebagai bank
sentral, Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Moneter, Direksi, dan Dewan Penasehat.
Di tangan Dewan Moneter inilah, kebijakan moneter ditetapkan, meski tanggung
jawabnya berada pada pemerintah. Setelah sempat dilebur ke dalam bank tunggal,
pada masa awal orde baru, landasan Bank Indonesia berubah melalui UU No.
13/1968 tentang Bank Sentral. Sejak saat itu, Bank Indonesia berfungsi sebagai
bank sentral dan sekaligus membantu pemerintah dalam pembangunan dengan
menjalankan kebijakan yang ditetapkan pemerintah dengan bantuan Dewan Moneter.
Dengan demikian, Bank Indonesia tidak lagi dipimpin oleh Dewan Moneter. Setelah
orde baru berlalu, Bank Indonesia dapat mencapai independensinya melalui UU No.
23/1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian diubah dengan UU No. 3/2004. Sejak
saat itu, Bank Indonesia memiliki kedudukan khusus dalam struktur kenegaraan
sebagai lembaga negara yang independen dan bebas dari campur tangan pemerintah
dan/atau pihak-pihak lain. Namun, dalam melaksanakan kebijakan moneter secara
berkelanjutan, konsisten, dan transparan, Bank Indonesia harus mempertimbangkan
pula kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.
Setelah berdirinya Bank Indonesia,
kebijakan moneter di Indonesia secara umum ditetapkan oleh Dewan Moneter dan
pemerintah bertanggung jawab atasnya. Mengingat buruknya perekonomian pasca
perang, yang ditempuh pertama kali dalam bidang moneter adalah upaya perbaikan
posisi cadangan devisa melalui kegiatan ekspor dan impor. Pada periode ekonomi
terpimpin, pembiayaan deficit spending keuangan negara terus meningkat,
terutama untuk membiayai proyek politik pemerintah. Laju inflasi terus
membumbung tinggi sehingga dilakukan dua kali pengetatan moneter, yaitu tahun
1959 dan 1965. Lepas dari periode tersebut pemerintah memasuki masa pemulihan
ekonomi melalui program stabilisasi dan rehabilitasi yang kemudian diteruskan
dengan kebijakan deregulasi bidang keuangan dan moneter pada awal 1980-an. Di
tengah pasang surutnya kondisi perekonomian, lahirlah berbagai paket kebijakan
ekonomi yang bertujuan untuk memperkuat struktur perekonomian Indonesia.
Mulai pertengahan tahun 1997, krisis ekonomi moneter
menerpa Indonesia. Nilai tukar rupiah melemah, sistem pembayaran terancam
macet, dan banyak utang luar negeri yang tak terselesaikan. Berbagai langkah
ditempuh, mulai dari pengetatan moneter hingga beberapa program pemulihan IMF
yang diperoleh melalui beberapa Letter of Intent (LoI) pada tahun 1998. Namun
akhirnya masa suram dapat terlewati. Perekonomian semakin membaik seiring
dengan kondisi politik yang stabil pada masa reformasi. Sejalan dengan itu,
tahun 1999 merupakan tonggak bersejarah bagi Bank Indonesia dengan
dikeluarkannya Undang-undang No. 23/1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang No. 3/2004. Dalam undang-undang ini, Bank
Indonesia ditetapkan sebagai lembaga tinggi negara yang independen dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya. Sesuai undang-undang tersebut, Bank
Indonesia diwajibkan untuk menetapkan target inflasi yang akan dicapai sebagai
landasan bagi perencanaan dan pengendalian moneter. Selain itu, utang luar
negeri berhasil dijadwalkan kembali dan kerjasama dengan IMF diakhiri melalui
Post Program Monitoring (PPM) pada 2004.
Gubernur Bank Indonesia
Masa Jabatan: 1953-1958(5thn)
Masa Jabatan: 1958-1959(1thn)
Masa Jabatan: 1959-1960(1thn)
Masa Jabatan: 1960-1963(3thn)
Masa Jabatan: 1963-1966(3thn)
Masa Jabatan: 1966-1973(7thn)
Masa Jabatan: 1973-1983(10thn)
Masa Jabatan: 1983-1988(5thn)
Masa Jabatan: 1988-1993(5thn)
Masa Jabatan: 1993-1998(5thn)
Masa Jabatan: 1998-2003(5thn)
Masa Jabatan: 2003-2008(5thn)
Masa Jabatan: 2008-2010(2thn)
Masa Jabatan: 2010-2013(3thn)
Masa Jabatan: 2013-2018(5thn)
Masa Jabatan: 2018
Sources:
No comments:
Post a Comment